Sudah sebulan lebih berlabuh di kota yang mungkin 15 tahun lalu merupakan bagian dari NKRI. Tepatnya pada tanggal 28 Mei 2014, berangkat dari Juanda Surabaya pada pukul 5 pagi hari, diantar oleh teman lama, mas Nai alias mas HS, kata si Dalles Ramones Telaso. Dengan berbekal 5 tas yang lebih dari 20kg, dan harus mengganti uang kelebihan beban sebesar Rp. 236.000 di Airport Juanda Surabaya.
Setelah menunggu hampir seabad lamanya, haha... pintu burung besi pun dibuka untuk para penumpang yang mau mampir ke Bali, termasuk Dili. Si Burung Besi yang lebih dikenal dengan nama Sriwijaya pun mulai mengantri untuk mengepakkan sayap terbang ke langit Surabaya yang masih gelap gulita. Dingin. Gerimis. Menghantarkan keberangkatanku setelah 7 tahun membanting tulang dikota Surabaya tercinta. Akupun berangkat ke Bali.
Tidak lebih dari 45 menit, Sriwijayapun menuruni lembah kota Denpasar. Kaki-kakinya pun mencengkeram tanah Bali dengan hentakan yang mungkin buat sebagian orang sudah biasa, tapi, pagi itu, membuatku kaget, terhentak, dan menyadari bahwa bumi orang Bali mungkin sedikit kurang ramah buat si Burung Besi.
Setelah keluar dan masuk ke Denpasar airport, baru nyadar, Denpasar lagi dalam pembangunan. Bahkan untuk mencapai tempat transit ke Gate International harus berjalan kaki yang cukup sangat jauh. Melelahkan.
Mengganti beberapa uang rupiah ke dollar, dan akupun langsung daftar transit penerbangan ke Dili. Sedikit hambatan waktu daftar, dikarenakan Pasport yang masa berlakunya berakhir bulan Desember 2014, serta hanya membawa uang USD 60 dan Rp 600.000, hampir saja ditolak untuk masuk Dili. Alasan yang cuman berkunjung 1 minggupun hampir ditolak, tapi berbekal wajah polos dan berbelas kasihan, merekapun memberikan ijin. Thanks God.
Di Bali waktu menunjukkan pukul 11.35, dan harus bersiap diri untuk berangkat ke Timor Timur (East Timor). Diiringi senyum manis pramugari dan pramugara di setiap koridor menuju si burung besi, tanpa sadar aku pun masuk dan mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Baru 15 menit, aku menyadari kejanggalan. Ternyata si burung besinya beda, tapi pramugarinya sama. Bah, pantesan si pramugari menyapa dengan nama, kok bisa kenal, pikirku tadi.
Tepat pukul 14.25 airport Dili sudah berada di kaki Sriwijaya, dengan sedikit memutar pulau East Timor, aku pun mendarat dua kaki di Comoro, Nicolau Lobato. Tanpa ragu turun, dengan mengikuti mereka yang sudah berjalan duluan untuk menuju ke imigrasi, antri, menulis selembar kertas untuk membayar USD30 arrival Visa untuk 30 hari, yang awalnya hanya untuk 20 hari, dengan sedikit nego, akhirnya dapat 30 hari stay di Dili.
Setelah semua beres, tinggal ambil taksi, dengan berbekal USD10 untuk mengantar keliling Dili. East Timor, here I am. Yeaaaaahh..... Salam Jepit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.